Rabu, 24 Januari 2024

Presiden Jokowi Plin-Plan, Indikasi Penggunaan Pengaruh Kekuasaan Untuk Halalkan Nepotisme

Presiden Jokowi Plin-Plan, Indikasi Penggunaan Pengaruh Kekuasaan Untuk Halalkan Nepotisme


Oleh:

Dr. Demas Brian Wicaksono. S.H., M.H.

Direktur PRESISI


Jakarta - Sebagaimana kita mendengar pidato/statemen Presiden di Halim Perdana Kusuma pagi tadi, Rabu (24/01/24) yang secara sengaja didampingi oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang juga calon presiden berpasangan dengan Gibran yang merupakan anak kandung presiden sendiri. 


Presiden menyatakan bahwa "Presiden boleh kampanye dan memihak", jelas statemen presiden tersebut salah besar, tidak dapat diterima secara logika akal sehat dan sudah pasti melanggar hukum dan tidak ada aturan hukum yang menyatakan presiden boleh kampanye. Presiden itu lembaga negara, jabatan publik, bukan person/perorangan.


Dukungan Presiden itu hanya boleh terwujud pada penyelenggaraan pemilu dengan menyalurkan suara pribadi di TPS ketika hari pencoblosan. Maka hal tersebut merupakan manifestasi hak presiden sebagai warga negara untuk memilih dalam pemilu, bukan statemen terbuka seperti yang terjadi hari ini.


Pada UUD disebutkan bahwa: 


Pasal 4 ayat (1)

"Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UndangUndang Dasar".


Pasal 10 juga menyebutkan:

"Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara".


Artinya potensi keberpihakan presiden untuk juga menggerakkan pemerintahan, TNI dan Polri sangat mungkin terjadi. Karena keberpihakan politik presiden hari ini telah dimanifestasikan dalam bentuk statemen sehingga kebijakan ataupun keputusan dengan menggunakan fasilitas negara atau menggunakan kekuasaan patut diduga untuk menunjukkan keberpihakannya memenangkan paslon tertentu yang tidak lain adalah Menteri Pertahanan dan anaknya sendiri, maka tindakan tersebut adalah Penyalahgunaan Wewenang (Abuse of Power) dan jelas terbukti memenuhi unsur berupa "Perbuatan melanggar hukum  dan perbuatan tercela" sebagaimana pasal 7A UUD 1945, sekaligus melanggar Konstitusi yaitu sumpah janji presiden pada pasal 9 UUD 1945.


Atas hal tersebut DPR dapat bersikap berdasar pasal 7B UUD1945 sebagai bentuk check and balances, ketika ada unsur yang diduga presiden melakukan penyalahgunaan wewenang saat masa kampanye pemilu dalam bentuk ucapan terbuka, kebijakan pemerintah, maka DPR dapat menggunakan fungsi pengawasannya yaitu tiga hak DPR berupa: Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat.


Jika keberpihakan presiden terhadap peserta pemilu tertentu dimanifestasikan dalam suatu kebijakan atau keputusan pemerintah yang tidak netral, maka berpotensi menjadi bentuk penyalahgunaan wewenang yang dilarang oleh undang-undang. 


Terlebih jika statemen presiden menyatakan boleh berpihak tersebut terucap saat berdampingan dengan paslon capres-cawapres maka sangat jelas dan gamblang bahwa presiden telah melanggar sumpah janji sebagai Presiden karena memanifestasikan keberpihakkan kepada salah satu paslon.


Di satu sisi presiden menyampaikan bahwa pemerintah harus netral namun kalimat selanjutnya menyampaikan bahwa presiden boleh berkampanye/memihak. 


Statemen Presiden tersebut menurut kiasan bahasa jawa dikenal dengan istilah "Tedeng Aling - Aling" (tidak jujur, menutupi rahasia) artinya presiden sendiri yang tidak netral dan Plin-Plan.(DBW)


Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2019 Majalah CEO | All Right Reserved