_Ilmu hikmah_
Wayan Supadno
Selama perjalanan 1,5 jam dari Jakarta ke Pangkalan Bun Kalteng. Saat di dalam pesawat terbang 3 hari lalu. Saya membuat kajian sepintas peningkatan kapasitas (scale up) bisnis milik sahabat - sahabat saya.
Ada 10 orang sahabat pebisnis di ruas hilir nuansa inovasi. Produk hilirisasi hasil bumi. Produk berlimpah karya para petani hingga harganya kadang teramat murah. Diubah jadi barang langka.
Caranya menjaga Manajemen PPIC (Production, Planning and Inventory Control). Komoditasnya nangka muda jadi abon nabati, singkong dan ubi rambat jadi kripik vakum, kelapa jadi VCO, sawit jadi biodiesel, breeding sapi dan lainnya.
Jadi rebutan pasar ekspor global. Karena peminatnya di banyak negara jadilah harga pasar tidak imbang. Lalu mengangkat harga. Wajar sekali membentuk harga bahan bakunya, karya petani ikutan mahal juga.
Itulah Hukum Pasar. Saat permintaan pasar global banyak karena barang inovatif langka, daya suplai produk tersebut oleh pabrik hilir milik sahabat - sahabat saya kurang banyak. Maka harga pun juga ikutan mahal.
Saat permintaan bahan baku pabrik makin besar, daya pasok oleh petani plasmanya kurang, membentuk harga hasil panen petani juga naik jadi mahal. Ada kepastian pasar (off taker) baik jumlah maupun harga dipastikan.
Implikasinya selain menambah pendapatan petani sebagai produsen bahan baku. Juga jadi semangat. Peneliti juga senang, hasil risetnya terhilirisasi jadi inovasi membumi. Konkret bermanfaat, tidak hanya di lemari.
Implikasi lainnya. Pajak untuk APBN, karena dari total APBN kita 64% bersumber dari pajak. Devisa cadangan negara juga dapat, yang gunanya untuk impor barang - barang sangat dibutuhkan tapi kita belum bisa memproduksi sendiri.
Yang paling jadi perhatian saya. Penambahan jumlah karyawan dan plasmanya. Sebagai mitra usahanya. Dulunya hanya 50-an orang saat ini rerata di atas 300 keluarga. Naik 250 keluarga terberdayakan produktif.
Total 10 pebisnis tersebut x 250 = 2.500 orang. Itu penambahan dampak scale up bisnisnya. Total yang dikaryakan 300 keluarga x 10 pebisnis jadi 3.000 keluarga. Belum plasmanya. Inilah implikasi konkret jika bisnis discale up.
Terbayang oleh saya jika adanya bukan hanya 10 orang pebisnis yang discale up. Melainkan 30.000 pebisnis. Tentu " perubahan " daya serap pengangguran jadi 30.000 pebisnis x 300 = 9 juta keluarga berubah total jadi sejahtera. Jadi nol pengangguran kita. Logis terukur.
Ilmu hikmahnya, bahwa kapasitas produksi umumnya usaha milik pebisnis kelas menengah. Masalah utamanya karena keterbatasan modal. 99% sebabnya karena keterbatasan modal. Ini paling sering jadi keluhan pebisnis.
Jika bahan baku kurang, tinggal diperbanyak plasmanya. Pasar global selalu kurang karena ibaratnya melayani seluruh umat manusia di atas bumi ini. Problematikanya utama pada kapasitas produksinya.
Tapi teramat sulit melahirkan pebisnis baru. Berbagai macam sebab dan alasan orang punya mimpi jadi pebisnis, " tidak terwujud " hingga tutup usia. Kisah seperti ini terlalu banyak di negeri kita ini. Mimpi jadi pebisnis dibawa mati.
Solusinya, jika kita telah dapat ilmu hikmah bahwa ternyata terlalu sulit melahirkan pebisnis baru. Kita tahu juga apabila bisnis milik pebisnis jika discale up ternyata multiplier effectsnya sangat banyak. Yang saya urai di atas.
Konkretnya. Kenapa pemerintah tidak " cipta kondisi " saja, cara praktis agar para pebisnis yang ada level menengah dibesarkan saja (scale up) secara massal dengan berbagai kemudahan ? Ini sangat penting dan strategis.
Banyak cara yang bisa dilakukan seperti di Vietnam, Korea Selatan dan Thailand. Misal kemudahan mengakses modal dengan dukungan bunga lunak 3%/tahun misalnya. Agar tiada pengangguran dan semua produktif.
Salam Mandiri 🇮🇩
Wayan Supadno
Pak Tani
HP 081586580630
FOLLOW THE Majalah CEO AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow Majalah CEO on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram