Oleh Prof. Dr. Nandan Limakrisna
MAJALAHCEO.COM, BANDUNG “Meski Indonesia telah merdeka hampir delapan dekade, kesejahteraan rakyat masih menjadi cita-cita yang jauh dari kenyataan.”
Kesenjangan ekonomi kian melebar. Sebagian besar kekayaan alam dikuasai segelintir kelompok, sementara sebagian besar rakyat berjuang dengan biaya hidup yang terus meningkat. Ketimpangan ini bukan sekadar kesalahan kebijakan jangka pendek, melainkan akibat dari penyimpangan arah sistem ekonomi nasional dari amanat konstitusi dan nilai-nilai dasar bangsa.
Pasal 33 UUD 1945 dengan tegas menyatakan:
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Sayangnya, dalam praktik pembangunan ekonomi, prinsip luhur ini semakin tersisih oleh logika pasar bebas, liberalisasi sumber daya alam, dan sistem keuangan berbasis riba (bunga) serta uang fiat yang tidak berbasis nilai nyata.
Oligarki Ekonomi dan Penyimpangan Pasal 33
Selama beberapa dekade, pengelolaan sumber daya alam Indonesia banyak diserahkan kepada korporasi swasta besar, baik nasional maupun asing, melalui berbagai bentuk kontrak jangka panjang. Negara berperan sebagai regulator, bukan pengendali strategis sebagaimana semangat Pasal 33. Akibatnya, nilai tambah sumber daya alam lebih banyak mengalir ke luar negeri atau ke kelompok terbatas, bukan ke masyarakat luas.
Privatisasi dan liberalisasi ini telah melahirkan oligarki ekonomi — kekuatan ekonomi terpusat pada segelintir elite. Dalam situasi seperti ini, kebijakan ekonomi negara cenderung mengikuti kepentingan kelompok modal, bukan kepentingan rakyat banyak.
Sistem Bunga: Akar Ketimpangan Struktural
Salah satu akar masalah mendalam dalam sistem ekonomi modern adalah penggunaan bunga (riba) sebagai pondasi sistem keuangan. Dalam sistem ini, uang “beranak” bukan karena aktivitas produktif, melainkan karena kelebihan modal yang dipinjamkan. Pemilik modal memperoleh keuntungan tetap (bunga), sementara pihak peminjam menanggung risiko.
Sistem ini menciptakan dua kelas besar: pemberi pinjaman yang semakin kaya, dan penerima pinjaman (termasuk negara dan rakyat kecil) yang terus menanggung beban bunga dan inflasi. Dalam konteks pembangunan nasional, hal ini mendorong ketergantungan pada utang, baik di sektor publik maupun swasta. Pertumbuhan ekonomi tampak tinggi di atas kertas, tetapi tidak menetes secara merata ke masyarakat bawah.
Islam melarang praktik riba bukan hanya karena alasan moral, tetapi karena dampak sistemiknya terhadap ketimpangan sosial. QS. Al-Baqarah: 275–279 menjelaskan bahwa riba menghancurkan keadilan ekonomi dan menimbulkan ketimpangan permanen.
Uang Fiat: Nilai yang Semu
Masalah kedua adalah penggunaan uang fiat (uang kertas yang nilainya bergantung pada kepercayaan, bukan emas atau perak). Sejak Indonesia meninggalkan sistem uang berbasis emas, nilai uang terus menurun akibat inflasi dan ekspansi moneter.
Uang fiat dapat diperbanyak secara politis oleh negara dan bank sentral, sering kali tanpa didukung produktivitas riil. Dampaknya, rakya
t kecil yang menabung dalam rupiah perlahan kehilangan daya beli, sementara pemilik aset riil (tanah, properti, emas) terus menikmati kenaikan nilai kekayaan.
Berbeda dengan masa Rasulullah ï·º dan Khulafaur Rasyidin, ketika sistem moneter berbasis dinar dan dirham menciptakan stabilitas harga, d adil, dan keuangan tanpa riba. Selama bunga dan uang fiat menjadi pondasi ekonomi, kesejahteraan rakyat hanya akan menjadi retorika, bukan ke
Pasal 33 sebagai Jalan Reformasi Ekonomi
Pasal 33 UUD 1945 sebenarnya memberikan kerangka hukum dan moral yang sangat kuat untuk memperbaiki arah pembangunan ekonomi Indonesia. Negara seharusnya:
1. Mengendalikan cabang produksi penting dan pengelolaan SDA strategis, bukan hanya mengatur.
2. Mendorong ekonomi rakyat melalui koperasi modern, UMKM, dan BUMDes.
3. Mengurangi
pada utang berbunga dan memperluas pembiayaan berbasis bagi hasil.
4.Mendorong penggunaan instrumen keuangan berbasis nilai riil, seperti emas, komoditas, atau aset produktif, untuk menopang stabilitas moneter jangka panjang.
5. Menegakkan transparansi dalam kontrak SDA dan mengembalikan hasilnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dengan arah seperti ini, Indonesia tidak sekadar “tumbuh” secara ekonomi, tetapi bertumbuh dengan keadilan — sebagaimana cita-cita para pendiri bangsa.
Alternatif Islami: Ekonomi Tanpa Riba dan Berbasis Nilai Nyata
Sejarah membuktikan bahwa sistem ekonomi Islam yang bebas riba dan menggunakan uang bernilai intrinsik mampu menciptakan masyarakat yang adil dan stabil. Prinsip ini sejalan dengan Pasal 33 yang menekankan gotong royong, keadilan sosial, dan kedaulatan negara dalam ekonomi.
Penerapan ekonomi Islam modern tidak berarti mengganti sistem secara radikal dalam semalam, melainkan bertahap: dimulai dari reformasi sistem pembiayaan, penguatan koperasi dan zakat produktif, peningkatan literasi keuangan syariah, dan penguatan basis aset riil dalam moneter.
Penutup: Seruan Nasional
Indonesia tidak akan mencapai kesejahteraan rakyat sejati jika terus bertumpu pada sistem ekonomi berbasis bunga dan uang kertas yang rapuh. Sudah saatnya kita kembali pada jati diri ekonomi bangsa — Pasal 33 UUD 1945 — dan menggali kembali prinsip Islam yang telah terbukti menciptakan keadilan sosial.
Menuju Indonesia Emas 2045, keberanian untuk melakukan reformasi ekonomi dari akar menjadi keharusan, bukan pilihan.
“Ekonomi yang adil tidak lahir dari utang dan spekulasi, melainkan dari produktivitas, kejujuran, dan pengelolaan amanah untuk kemaslahatan rakyat.”
Tentang Penulis:
Prof. Dr. Nandan Limakrisna: Akademisi Visioner dan Penggagas Snowball Business Model
Prof. Dr. Nandan Limakrisna adalah sosok akademisi dan pemikir strategis yang aktif menjembatani dunia pendidikan dan bisnis. Ia mengajar di Universitas Persada Indonesia Y.A.I Jakarta dan dikenal luas sebagai penggagas Snowball Business Model, sebuah pendekatan inovatif dalam pengembangan bisnis dan pemasaran di era digital.
Sebagai Pembina Yayasan Winaya Mukti, Prof. Nandan memiliki visi besar untuk membangun kemandirian perguruan tinggi melalui optimalisasi aset, inovasi bisnis, dan perencanaan strategis jangka panjang. Ia bertekad agar yayasan dan universitas mampu berdiri tegak secara finansial, dengan target pendapatan besar yang terukur dan berkelanjutan.
Selain kiprah akademiknya, Prof. Nandan juga aktif di dunia usaha. Ia menjabat sebagai Direktur PT. Winaya Mukti Bisnis, Direktur PT. Solusi Tani Makmur, serta Komisaris PT. Bandung Inovasi Organik—tiga perusahaan yang bergerak dalam pengembangan usaha strategis dan agribisnis berkelanjutan. Melalui peran-peran tersebut, ia mendorong sinergi antara kampus, dunia industri, dan masyarakat untuk menciptakan nilai ekonomi dan sosial yang nyata.
Visi, dedikasi, dan kepemimpinan Prof. Nandan menjadikannya sosok inspiratif dalam membangun ekosistem pendidikan dan bisnis yang saling menguatkan.



FOLLOW THE MAJALAH CEO AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow MAJALAH CEO on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram